KOTA BANDUNG, METROJABAR.ID- Memasuki bulan kelima di tahun 2024, sejumlah kasus sodomi terjadi di Jawa Barat dalam rentang waktu yang berdekatan. Perilaku menyimpang tersebut terjadi di Cianjur, Sukabumi, dan Karawang.
Mirisnya, anak di bawah umur jadi sasaran pelaku dengan usia beragam. Mulai dari yang di bawah umur, remaja, hingga yang lebih tua. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Aries Adi Leksono mengungkap sepanjang Januari-Maret 2024, terdapat sebanyak 383 aduan kasus se-Indonesia.
“Dari angka tersebut, jumlah kasus kekerasan pada anak itu tertinggi di Jabar. Laporan tersebut termasuk kekerasan seksual anak, baik lawan jenis atau sesama jenis. Memang kami belum ada angka rincinya (untuk Jabar), namun ini terjadi karena ada faktor keluasan wilayah, kepadatan penduduk, dan terjadi di daerah yang mungkin fungsi perlindungan anaknya tidak maksimal,” kata Aris.
Menurutnya, kasus kekerasan seksual lawan jenis hingga sodomi atau kekerasan seksual menyimpang sesama jenis, rawan terjadi di daerah yang minim edukasi seks. Kemudian daerah dengan budaya relasi kuasa dan patriarki yang masih kental, yang mayoritas juga merupakan daerah nonperkotaan karena tidak mendapat informasi pelayanan pendampingan.
“Tidak ada akses edukasi, tidak mendapat layanan yang bisa dijangkau untuk melindungi anak-anaknya. Kemudian kadang adanya relasi kuasa, patriarki, khawatir adanya stigma-stigma, membuat korban atau orang tua berpikir ‘ah sudahlah nggak usah ngadu’. Nah pembiaran itu akhirnya membuat pelaku nyaman, membuka peluang ada korban-korban lainnya,” ucap Aris.
Tak jarang ditemukan terutama pada kasus sodomi, pola kasus berulang karena adanya pembiaran. Pada kasus kekerasan seksual dan pembunuhan anak TK di Sukabumi misalnya, kisah tragis itu bermula saat pelaku yang masih berusia 14 tahun punya hasrat tak biasa setelah pernah menjadi korban sodomi.
Pelaku yang masih duduk di bangku SMP tersebut memendam traumanya, hingga akhirnya melampiaskan nafsu bejatnya pada korban yang masih berusia 7 tahun. Saat melakukan sodomi untuk pertama kalinya, korban pun memutuskan untuk diam dan terjadi pembiaran. Aris melihat pola ini karena kurangnya edukasi pada anak.
“Penyebabnya edukasi soal kekerasan seksual masih sangat minim. Anak kurang memahami batasan-batasan kekerasan seksual. Ada keinginan melampiaskan syahwat. Kemudian minim pengawasan, perhatian, dan deteksi dini dari satuan pendidikan saat ada potensi perilaku menyimpang. Lalu tentu saja bisa dari pengaruh tontonan,” tuturnya.
“Kita tahu beberapa waktu lalu Indonesia jadi salah satu yang tertinggi mengakses situs pornografi. Aktivitas prostitusi juga beredar di media sosial. Ini cukup membahayakan anak-anak kita, mereka mudah mengakses dan kadang ada yang seliweran di game dan tontonan mereka,” lanjut Aris.
Solusinya, kata Aris, orang tua dan sekolah perlu gencar soal edukasi pencegahan kekerasan seksual pada anak. Selain itu, penting untuk membentengi anak-anak dengan nilai moral, karakter, dan akhlak mulia. Penguatan religiusitas menjadi penting untuk membentuk anak.
Masyarakat juga harus mau menjadi pelopor dalam pengawasan dan kepedulian, serta pelapor. Jika ada kasus kekerasan seksual harus berani untuk melapor, agar tak terjadi kasus berulang.
“Kemudian anak perlu punya kekuatan mental untuk melindungi dirinya ketika terjadi ancaman kekerasan. Selain itu, harus ada kerjasama dengan kewilayahan untuk hadir saat ada ancaman yang timbul. Saat mendeteksi ada kasus, langsung koordinasi dengan UPTD PPA untuk pemulihan pada anak,” kata Aris.
“Kepolisian juga setelah menerima laporan, harus menindak pelaku dengan tegas. UU TPKS menjadi patokan. Misalnya pelakunya guru, itu kan masuk orang terdekat anak, jadi jangan segan membuat hukuman pemberat. Kita sudah punya pengalaman kok menjatuhi hukuman pelecehan, di Bandung kan pelaku divonis mati pun ada, kebiri kimia juga bisa,” imbuhnya.
Kini, KPAI menegaskan pihaknya bukan cuma mendorong fungsi pemerintah, namun juga terjun pada penanganannya terutama saat terjadi hambatan keadilan. Saat ini kata Aris, pendampingan korban sodomi di Jabar masih terus dilakukan.
“Setelah pengaduan masuk, jika sudah diproses polisi kita kakukan pendampingan dengan cepat. Agar korban anak mendapat keadilan pendampingan, bantuan sosial, resistisi, dan menghindarkan dari stigma-stigma negatif,” ucapnya.
Aris pun mengimbau pada masyarakat yang membutuhkan layanan perlindungan anak, dapat mengadu ke KPAI melalui hotline 0811-1772-273. Nomor tersebut juga bisa diakses melalui aplikasi perpesanan WhatsApp. (Red./Annisa)
Discussion about this post