KOTA BANDUNG, METRO JABAR.ID
Ujang Uhe akan membahas RUU Omnibus Law perihal dampak terhadap lingkungan dan iklim. Apa sih omnibus law dan apa pengaruhnya bagi lingkungan dan iklim?
Izin Lingkungan hingga Sanksi Administratif yang menjadi sorotan Ujang Uhe dinilai akan menjadi biang dampak krisis lingkungan dan iklim saat diskusi di halaman depan gedung DPRD Kota Bandung, jalan Sukabumi 30 Kota Bandung, 11/3/2020.
Ujang Uhe menolak tegas pengesahan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja karena dinilai telah menyingkirkan aspek penyelamatan lingkungan.
Ujang menyebutkan poin-poin dalam draf setebal 1028 halaman itu yang menurut pihaknya patut dikritisi. Pertama terkait hilangnya izin lingkungan yang kemudian hanya berlaku izin usaha.
Sebenarnya, poin mengenai izin lingkungan ini telah tercantum dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup No. 32 Tahun 2009 yang memberikan ruang bagi publik untuk melakukan partisipasinya melalui mekanisme sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Proses pengeluaran izin oleh pemerintah itu bisa di-challenge melalui PTUN. Karena izin lingkungannya sudah dihilangkan dan pasal yang berkaitan dengan masyarakat bisa mengajukan gugatan, maka ruang partisipasi publik dalam mengajukan perlawanan sudah tidak ada,” ungkap Ujang.
Poin kedua soal berubahnya AMDAL dalam Omnibus Law. Asep bilang, didalam RUU ‘sapu jagat’ AMDAL diberlakukan untuk jenis usaha yang berisiko berbahaya. Menurutnya, kategori berbahaya di sini tidak disampaikan secara jelas sebagaimana yang telah disebutkan secara lebih detail dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup.
Lalu, ketiga soal pasal yang berkaitan dengan larangan pembukaan lahan dengan membakar. Asep mengutarakan, ada poin penting yang dihapus dalam Omnibus Law, yakni yang memperhatikan kearifan lokal.
“Yang kita khawatirkan ke depan adalah akan muncul banyak kriminalisasi para peladang masyarakat adat yang memang memiliki adat kearifan lokal tentang bagaimana membuka lahan dengan cara membakarnya,” jelas Ujang.
Poin yang dipersoalkan berikutnya ialah tentang pemberlakuan sanksi administratif dalam perlindungan lingkungan yang diutamakan dalam undang-undang seperti Omnibus Law. Ujang menilai, hal tersebut sebagai sebuah kekeliruan, sebab sanksi administratif dan sanksi pidana memiliki pendekatan yang berbeda.
Jaga Budaya wadah aspirasi sebagai tempat bernaung Ujang Uhe pun menolak tegas pengesahan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja karena dinilai telah menyingkirkan aspek penyelamatan lingkungan.
“Administrasi mengarah pada kepatuhan, tetapi kalau penegakan hukum pidana, yang dikejar adalah efek jera. Ini tidak bisa dijadikan prasyarat salah satunya. Jadi itu sebenarnya bisa berjalan berbarengan,” ujarnya.
Permasalahan ditariknya mekanisme perizinan ke pemerintah pusat turut dikritisi. Ujang memandangnya sebagai sebuah kemunduran karena bertentangan dengan semangat demokrasi, desentralisasi yang kini ditarik kembali menjadi sentralisasi.
“Kalau alasannya karena ada praktik korupsi, tidak ada jaminan ketika sentralisasi perizinan dilakukan tidak ada korupsi terjadi,” tandasnya. (Iwan/Azay)
Discussion about this post