JAKARTA, METROJABAR.ID- Dokter emergency sekaligus relawan Lapor Covid-19 Tri Maharani memaparkan laporan data kondisi keterisian tempat tidur atau bed occupancy rate (BOR) ruang Intensive Care Unit (ICU) di Rumah Sakit rujukan pasien covid-19 Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) terisi 100 persen.
Kondisi itu, kata Tri, terjadi karena pasien covid-19 di Jabodetabek dengan gejala berat meningkat sehingga membutuhkan perawatan khusus serta membutuhkan peralatan medis cukup seperti ventilator.
“Ada 100 persen ICU di RS seluruh Jabodetabek sudah penuh, sudah 100 persen. Kalau Unit Gawat Daruratnya ada 80 persen sudah terisi,” kata Tri, Rabu (6/1).
Tri menjelaskan kondisi itu terjadi sejak Desember hingga Selasa (5/10) kemarin.
Ahli toksikologi ini mengaku laporan itu ia dapat dari masyarakat dan hasil percobaannya sendiri dalam mencari ruang ICU untuk pasien covid-19 yang melapor kepadanya.
“Kan ada 69 nomor RS rujukan covid di Jakarta, tapi nomornya hanya bisa 42 saja. Itu saya hubungi terus dan selalu tidak ada ICU yang masih kosong untuk dirujuk. Sama, Jabodetabek juga begitu,” jelasnya.
Imbas dari kondisi itu, Tri pun mendapat banyak laporan dari lapangan yang menyebut beberapa pasien covid-19 yang keadaannya memburuk hingga meninggal karena tidak mendapat perawatan ICU dengan segera.
Pada 2 Januari lalu misalnya, seorang warga Tangerang masih belum mendapatkan ruang rawat di RS sehingga harus isolasi mandiri di rumah bersama anggota keluarga lain yang positif Covid-19. Tak segera mendapat perawatan, warga tersebut masih merasakan sesak napas hingga berhari-hari.
Kemudian, pada 3 Januari lalu ia mendapat laporan ada warga meninggal di taksi daring setelah ditolak 10 RS di Depok, Jawa Barat.
“Ada yang meninggal di ambulans juga laporannya. Ini yang lapor ke kami ada 10-lah ya di Pulau Jawa yang kondisi parah dan meninggal. Nah yang lain pasti ada namun belum terlaporkan,” ungkapnya.
Melihat kondisi itu, Tri pun menilai Sistem Penanganan Gawat Darurat terpadu (SPGDT) RS di Indonesia belum mumpuni menangani kondisi bencana seperti pandemi covid-19.
Ia juga menyarankan agar fasilitas isolasi mandiri dan perawatan diperbanyak, misalnya dengan membuat rumah isolasi mandiri mild moderate dengan standar yang benar.
Namun Tri menyatakan isolasi terpusat akan lebih bagus daripada isolasi mandiri di rumah masing-masing karena akan terkontrol dan mudah dilakukan pertolongan bila ada kondisi gawat darurat.
“Sistem dibuat yang dibuat Kemenkes sudah puluhan tahun itu banyak kelemahan, dan salah satu kelemahan integrasi data dan IT,” pungkasnya. (Red./Alin)
Discussion about this post