JAKARTA, METROJABAR.ID- Lapor Covid-19 meminta pemerintah segera menyiapkan protokol seleksi penerimaan pasien Covid-19 yang akan dirawat di ruang Intensive Care Unit (ICU) karena saat ini rumah sakit sudah mulai penuh.
Inisiator Lapor Covid-19, Ahmad Arif, mengatakan bahwa prosedur ini diperlukan agar tak ada perebutan ruangan jika pasien sudah mulai tak bisa tertampung.
“Harus ada penentuan kriteria siapa yang berhak masuk ke ICU. Kriteria ini disepakati bersama oleh pemerintah, organisasi profesi tenaga kesehatan, dan para ahli. Tujuannya agar tidak terjadi rebutan jika pasien berlebih seperti saat ini, seperti yang bisa masuk ICU karena punya kenalan atau akses,” kata Ahmad , Sabtu (2/12).
Arif mengatakan bahwa sejumlah negara juga pernah menerapkan seleksi penerimaan pasien seperti itu, seperti Italia dan Spanyol saat menghadapi puncak gelombang pertamaCovid-19 yang menyebabkan fasilitas kesehatan lumpuh.
Belajar dari kedua negara itu, Arif menyarankan pemerintah memperhatikan pasien Covid-19 dengan komorbid yang dirawat di ICU juga harus mempertimbangkan usia produktif dan harapan hidup.
Ia mengambil contoh bahwa rumah sakit di Italia tidak memasukkan pasien usia 70 tahun yang mengalami kondisi memburuk ke dalam ICU.
“Yang punya komorbid dengan kriteria usia tertentu dan mengalami perburukan atau artinya peluang hidup rendah, maka justru tidak bisa masuk ke ICU lagi. Batas usia ini bisa beda dengan Indonesia yang usia harapan hidupnya rendah,” tutur Arif.
“Jadi yang masuk ICU dengan kriteria yang kira-kira secara medis masih punya peluang diselamatkan. Lalu biasanya prioritas ke tenaga kesehatan, dengan asumsi mereka dibutuhkan saat pandemi saat ini.”
Kendati demikian, seleksi penerimaan pasien ini menurutnya merupakan opsi terakhir. Saat ini, tugas pemerintah adalah tetap berupaya untuk memperkokoh fasilitas kesehatan di dengan menambah ruang isolasi hingga ICU di Indonesia.
Data Kementerian Kesehatan teranyar menunjukkan BOR RS secara kumulatif di Indonesia berada di kisaran angka 64,1 persen.
Rata-rata itu keterisian itu melebihi ambang batas aman yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) hanya 60 persen.
Lapor Covid-19 juga memaparkan data empiris lewat unggahan di akun twitter @LaporCovid pada Sabtu (2/1). Unggahan itu memperlihatkan bahwa pada Desember 2020 terjadi RS penuh sehingga terjadi penolakan ketika pasien datang.
Data Lapor Covid-19 memperlihatkan pada 24 Desember 2020 lalu seorang penyintas Covid-19 dengan inisial KW kesulitan mencari RS rujukan. Saat itu, RS di DKI penuh.
Sementara itu, kondisi tubuhnya memburuk dan membutuhkan perawatan di ICU. Namun hingga 29 Desember 2020, ia tak juga menemukan RS yang kosong.
Di hari yang sama, seorang tenaga kesehatan di Jawa Timur tidak mendapat ruang ICU. Akhirnya, ia dirujuk ke RS Paru Karang Tembok Surabaya.
Namun, di RS tersebut banyak tenaga kesehatan terpapar Covid-19. Tenaga kesehatan penyintas Covid-19 berpikir untuk menjalani isolasi mandiri, tapi keadaan tidak memungkinkan.
Selain itu, masih ada beberapa aduan masyarakat dan tenaga kesehatan serupa terkait kehabisan ruang ICU, baik di DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan Jawa Timur.
“Pemerintah wajib tambah fasilitas layanan kesehatan, khususnya ruangan isolasi. Sedangkan untuk menambah ICU, pasti akan butuh waktu lebih lama dan tenaga kesehatan lebih terlatih. Yang mendesak adalah ruang isolasi dan perawatan agar yang moderat tidak memburuk,” kata Arif.
Arif menilai pemenuhan fasilitas kesehatan tidak akan cukup bila upaya pemeriksaan warga terhadap Covid-19 tidak dilakukan secara masif.
Oleh sebab itu, Arif meminta pemerintah daerah fokus melakukan upaya testing, tracing, dan treatment (3T). Masyarakat juga diharap tetap patuh menjalankan 3M, yang meliputi memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak.
“Pertimbangkan juga pembatasan sosial atau lockdown secara lebih serius. Itu yang dilakukan Italia dan Spanyol saat ledakan wabah,” katanya. (Red./Alin)
Discussion about this post