Metrojabar.id, Bandung – Hari Peduli Sampah Nasional menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya mengelola sampah dengan bijak. Baik pemerintah maupun pemerhati lingkungan terus mengampanyekan budaya baru yang menekan produksi sampah.
Akan tetapi, Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) bekerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) berinisiatif untuk memberikan perhatian tidak hanya kepada isu sampah tetapi juga kepada para petugas sampah. YPBB melaksanakan kegiatan pemeriksaan kesehatan gratis bagi 100 petugas sampah di 3 lokasi, yaitu Kelurahan Gempolsari, Kelurahan Sadang Serang, dan Kelurahan Sukaluyu pada 20-22 Februari 2020.
Humas YPBB Shendi Hendi Hendarlin mengemukakan, gagasan itu muncul dari keprihatinan akan minimnya perhatian publik terhadap kualitas hidup para petugas pemungut sampah. Para petugas yang umumnya dipekerjakan oleh RW untuk mengangkut sampah dari rumah ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS) setiap hari harus berhadapan dengan sampah yang menjadi sumber penyakit.
“Selama ini mereka jarang memeriksakan kesehatan. Jangankan periksa rutin, untuk berobat saja mereka jarang ke Puskesmas, karena alasan biaya atau keterbatasan pengetahuan,” ungkap Shendi kepada Humas Kota Bandung, Jumat (21/2/2020).
Pada kegiatan ini, YPBB juga bekerja sama dengan UPT Puskesmas yang ditunjuk kelurahan di tiga lokasi itu. Para petugas kesehatan mengecek kesehatan para petugas sampah, terutama kadar kolesterol dan gula darah.
“Kalau ada yang perlu diobati, langsung dikasih resep oleh dokternya. Obatnya bisa langsung ditebus di apotik Puskesmas, tentu dengan harga yang terjangkau,” imbuh Shendi.
Selain menyoal kondisi kesehatan, Shendi menemukan, masih banyak petugas sampah yang tidak mengenyam pendidikan. Ada yang sebatas lulus SD, ada yang tak menyelesaikan pendidikan dasarnya, bahkan ada pula yang tak bisa baca tulis.
“Mereka juga berkekurangan. Ada yang satu keluarga semuanya petugas sampah, semuanya lulusan SD. Ada yang nggak sekolah. Ada yang baru lulus SD sudah jadi petugas sampah itu bapak dan anak. Jadi luput dari sorotan BPJS. mereka pun segan untuk mengurus ke kelurahan, apalagi kalau harus online,” beber Shendi.
Melihat kondisi tersebut, lanjut Shendi, para petugas kewilayahan langsung bertindak. Di Gempolsari, misalnya, petugas langsung menghubungi lurah untuk melaporkan kondisi itu. Lurah pun langsung menginstruksikan untuk mendata administratif dan membentuk Unit Kesehatan Kerja (UKK).
“Alhamdulillah dari situ memicu kelurahan untuk mengurusi BPJS, apalagi kalau petugas sampahnya orang asli situ. Puskesmasnya langsung dengan Lurah membentuk pos UKK. Ini akan dilakukan paling cepat bulan depan,” tuturnya.
Shendi pun mengaku banyak mendapat apresiasi positif dari para petugas sampah. Meski pun pada mulanya sangat sulit untuk mengumpulkan mereka agar mau melaksanakan cek kesehatan gratis. Ia bahkan harus mengiming-imingi dengan sembako agar mereka mau ikut program tersebut.
“Mereka sangat mengapresiasi karena hal seperti ini langka mereka dapatkan. Apalagi ini dilaksanakan di kantor kelurahan, mereka seperti mendapat perhatian lebih,” katanya.
Selain itu, kegiatan juga diisi dengan pembagian sembako, diskusi, dan sosialisasi kesehatan dan keselamatan kerja dari UPT Puskesmas setempat.
“Kita berikan sosialisasi kesehatan dan keselamatan kerja, biar mereka aware dengan pekerjaan mereka, pakai sarung tangan, pakai masker, pakai sepatu. Karena kan mereka berurusan dengan sesuatu yang kotor dan bisa mengundang penyakit,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala DLHK Kota Bandung, Kamalia Purbani mengatakan pihaknya juga ingin terus mendorong agar para petugas sampah ini juga bisa mendapatkan perhatian dari warga sekitar. Karena memang tidak semua petugas sampah itu mendapatkan gaji yang layak.
“Kita dorong agar RW itu mengalokasikan gaji para petugas sampah itu dari dana PIPPK (Program Inovasi Pembangunan dan Pemberdayaan Kewilayahan). Itu kan bisa. Tentu juga bisa di-mix, misalnya sebagian itu dari swadaya warga. Diharapkan RW itu bisa membiayai minimal satu petugas sampah,” ucap Kamalia.
Apalagi, lanjut Kamalia, saat ini pola pengolahan sampah di Kota Bandung sudah lain. Dengan Kang Pisman, sistem yang tadinya kumpul-angkut-buang sampah menjadi pilah-olah sampah.
“Sekarang petugas kebersihan ini sebagai sentral, bukan hanya kumpul angkut buang, sudah berubah cara pandangnya. Dari rumah juga dipilah, nanti petugas sampah ini mengolah, organik dibuat kompos, anorganik diserahkan ke bank sampah,” katanya.
Oleh karena itu, ia berharap warga tidak lagi memandang pekerjaan petugas sampah dengan sebelah mata. Petugas sampah ke depannya akan diberi pelatihan sehingga memiliki kemampuan yang baik dalam mengelola sampah.
“Ke depannya, petugas sampah bisa jadi profesi yang disertifikasi, karena sampah itu bukan hanya dibuang, tapi harus diolah jadi harus lebih dihargai. Mereka perlu dibayar layak,” papar Kamalia.
Ia pun berharap warga juga lebih sadar dalam mengelola sampahnya. Ia ingin agar Kang Pisman betul-betul diimplementasikan secara nyata oleh masyarakat.
“Saya berharap pengolahan bisa lebih baik, idealnya pengolahan itu sifatnya komunal. Kalau kita yang penting tugas rumah tangga aja memilah. Bagusnya selesai di rumah, mengolah sendiri. Minimal mengolah sendiri. Nanti ada tempat pengolahan sampah yang sifatnya komunal. Jadi nanti yang dibuang itu betul-betul residu,” tuturnya.(iwnaruna /Azay)
Discussion about this post