JAKARTA, METROJABAR.ID- Front Pembela Islam dan sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Nasional Anti-Komunis (ANAK) NKRI berencana menggelar aksi 1812 di depan Istana Negara, Jakarta, Jumat (18/12).
Aksi tersebut, dapat dikatakan sebagai buntut dari penetapan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab sebagai tersangka kasus kerumunan di Petamburan, Jakarta Pusat. Aliansi yang dimotori PA 212, FPI, dan GNPF Ulama ini menuntut Rizieq bebas dari jerat hukum tanpa syarat.
Walau dimotori kelompok-kelompok yang membuat aksi 212 pada 2016 silam, sejumlah pengamat pesimistis bisa memberi dorongan untuk membuat kasus Rizieq terhenti.
Sosiolog dari Universitas Andalas, Indradin, menilai anggapan itu bisa muncul karena persoalan yang diangkat dalam aksi tersebut tidak mewakili kelompok Islam secara umum seperti pada aksi 212 silam yang terkait perkara dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang kala itu Gubernur DKI Jakarta.
“Isunya berbeda. Kalau isu penistaan agama biasanya lebih mendapat dukungan. Kalau isunya pribadi tentu berbeda,” kata Indradin kepada CNNIndonesia.com saat dihubungi, Kamis (17/12).
Oleh sebab itu, sambungnya, sulit untuk mengatakan bahwa suara dari kelompok FPI cs itu mewakili umat Islam secara keseluruhan di Indonesia. Hal ini tentu berbeda dari aksi demonstrasi yang digelar berjilid-jilid untuk mendesak aparat hukum memproses Ahok empat tahun silam.
Meskipun demikian, kata dia, tak dapat dipungkiri bahwa suatu kelompok biasanya akan memiliki ikatan emosional antarsesama. Apalagi, saat ini pimpinan yang mereka sebut Imam Besar tersebut terjerat kasus hukum.
Untuk aksi 1812 hari ini, hingga berita ini ditulis belum ada kepastian jumlah massa yang bakal diboyong untuk melakukan unjuk rasa hari ini di kawasan pusat pemerintahan Indonesia tersebut.
Selain itu, pengerahan massa dalam jumlah besar untuk datang ke ibu kota negara pun diperkirakan akan sulit. Apalagi, aparat kepolisian sudah berjaga dan memiliki skema operasinya tersendiri. Khususnya, dalam menyikapi sejumlah pergerakan simpatisan Rizieq yang menolak proses hukum.
“Sulit menggerakkan massa yang besar seperti sekarang ini, karena petugas akan berusaha mengantisipasi lebih awal, karena tentu aksi ini telah diperkirakan sejak awal, ketika akan dilakukan penangkapan terhadap pemimpin mereka,” tutur Indradin.
Sebagai informasi, sebelum aksi 1812 hari ini, secara bergelombang massa pendukung Rizieq telah melakukan aksi dengan mendatangi kantor-kantor polisi sejumlah daerah menuntut pembebasan Imam Besar FPI tersebut. Beberapa di antaranya adalah di Ciamis (13/12), Cianjur (14/12), Tangerang (16/12), Medan (16/12), dan Sampang (16/12).
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan, sikap polisi menghadapi aksi massa Rizieq ini akan menunjukkan bagaimana kredibilitas penegakan hukum protokol kesehatan oleh kepolisian.
Idealnya, kata dia, polisi tegas akan membubarkan apabila memang massa yang hadir menimbulkan kerumunan dan melanggar protokol kesehatan. Hal itu tentu menegaskan bahwa tidak ada upaya penegakan hukum yang tebang pilih bagi aparat.
Saat ini, kata dia, masyarakat sedang memelototi setiap pergerakan yang dilakukan aparat. Sehingga, sudah barang tentu polisi juga akan bertindak sebagaimana mestinya.
“Di situlah letak ujian konsistensi penegakan hukum oleh kepolisian,” kata Bambang saat dihubungi.
“Kalau tidak konsisten, akibatnya bisa muncul asumsi bahwa penegakan hukum pada Rizieq bukan sekedar karena pertimbangan hukum tetapi dipengaruhi pertimbangan-pertimbangan nonhukum, politik di antaranya,” imbuhnya.
Selain itu, kata dia, penggunaan UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan pun harus dimaksimalkan dalam aksi tersebut apabila memang terjadi pelanggaran.
“Korlap aksi bila pengerahan massa itu terus dilakukan bisa dimintai keterangan dan juga dijerat UU Kekarantinaan,” kata Bambang.
Menurut dia, upaya-upaya aksi yang dicoba untuk dilakukan FPI dan kawan-kawan itu tidak akan bisa mempengaruhi proses hukum yang berlangsung. Bambang pun berharap agar cara-cara pengerahan massa untuk memengaruhi proses hukum dapat ditinggalkan.
Apalagi, sambungnya, saat ini Indonesia juga masih dalam kondisi pandemi virus corona (Covid-19). Sehingga, bukan tidak mungkin proses hukum yang terjadi dinilai berlebihan bagi sebagian besar orang.
“Permintaan itu wajar saja karena selama ini kepolisian tidak konsisten dalam menegakan protokol kesehatan. Akibatnya hanya terkesan tebang pilih. Dan di situlah letak kesulitannya bila menjerat Rizieq dgn UU kekarantinaan. Berbeda halnya bila Rizieq dijerat dengan pasal penghasutan,” kata dia.
Sebagai informasi, sebelum rencana aksi 1812, gelombang demonstrasi memang sudah muncul di beberapa daerah usai Rizieq ditahan oleh kepolisian. Ratusan orang, seringkali melakukan demonstrasi nya di depan kantor kepolisian setempat. Misalnya, sehari setelah Rizieq dijebloskan ke penjara, sejumlah orang mendatangi Polres Ciamis meminta ditahan oleh polisi. Aksi serupa juga terjadi di depan Mapolres Bekasi Kota, Ciamis, Cianjur hingga Tangerang. Mereka menuntut Rizieq dibebaskan.
Namun, dari serangkaian aksi tersebut semuanya berakhir dengan audiensi dan tidak ada massa yang dijerat proses hukum baru.
Aparat kepolisian sendiri tidak memberi izin terhadap digelarnya aksi 1812 hari ini. Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Yusri Yunus menuturkan pihaknya juga akan melakukan upaya preventif untuk mencegah massa aksi bela Rizieq 1812 datang ke Jakarta. (Red./Alin)
Discussion about this post