KOTA BANDUNG, METRO JABAR.ID
Berada di tengah pusara pandemi Corona virus Disease 2019 (Covid-19) membuat para tenaga kesehatan harus bekerja lebih keras untuk menjaga agar wabah ini tidak meluas. Bukan sekadar menyembuhkan yang sakit, tetapi menjaga yang sehat agar tidak jatuh sakit adalah tantangan terbesar hari ini.
Hal itu dialami langsung oleh dr. Deborah Johana Rattu, Kepala UPT Puskesmas Pasir Kaliki. Wilayah kerjanya merupakan daerah zona merah yang paling banyak terdapat pasien positif Covid-19 di Kota Bandung. Kondisi ini memberinya tantangan tersendiri dalam menghadapi pandemi yang terjadi di seluruh dunia ini.
“Puskesmas di Kecamatan Cicendo ini ada dua, satu di Pasir Kaliki ini, satu di Sukaraja. Di wilayah kerja kami memang yang paling banyak positifnya. Per hari ini, dari 20 yang positif, 13-nya ada di kami,” ungkapnya kepada Humas Kota Bandung, Selasa (21/4/2020).
Kendati tak selalu berhadapan langsung dengan pasien positif Covid-19, namun tugas utamanya sebagai dokter puskesmas wajib memastikan orang-orang yang tinggal di sekitar pasien tersebut berada dalam keadaan sehat dan aman. Pihaknya mesti menelusuri siapa saja yang pernah berinteraksi dengan pasien.
“Yang paling berat bagi kami bukan hanya melawan penyakitnya, tetapi juga melawan stigma masyarakat tentang pasien, keluarganya, bahkan kepada petugas kesehatan. Kadang kami baru datang untuk penelusuran pasien saja warga sudah ribut dan takut,” tuturnya.
Meskipun begitu, bukan berarti ia harus menyerah. Sebab tugasnya adalah panggilan jiwanya. Sedari awal, ia memilih mengambil jalur kesehatan masyarakat karena ingin menjaga agar warga selalu sehat. Apalagi di tengah situasi seperti sekarang.
“Awalnya saya ingin ngambil bedah, tapi ternyata public health itu lebih memanggil saya. Akhirnya saya turun ke puskesmas. Meskipun banyak dokter puskesmas itu, bukan dipandang sebelah mata, tetapi orang itu berbeda memandang dokter yang ada di puskesmas,” terangnya.
“Padahal dokter di puskesmas itu memiliki kerja yang luar biasa. Dia harus memiliki pelayanan kesehatan primer di mana dia harus mengelola pelayanan kesehatan kemudian upaya kesehatan masyarakat, ini yang beratnya,” imbuhnya.
Pandemi Covid-19 ini bukanlah yang pertama baginya. Selama 18 tahun berkarir sebagai dokter di puskesmas, ia telah tiga kali menghadapi wabah penyakit di masyarakat. Pengalaman mengesankan pertamanya saat ia menangani kasus H1N1, atau yang lebih dikenal dengan flu babi. Kebetulan, saat itu tepat terjadi di wilayah kerjanya di Ciumbuleuit.
Ia bercerita bagaimana saat itu mengoordinir penanganan wabah dengan aparatur setempat. Begitupun dengan wabah Hepatitis A yang saat itu sempat merebak di wilayah yang sama. Saat itu ada puluhan mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan jatuh sakit karena penyakit itu.
“Tapi yang sekarang yang paling melelahkan. Selain karena siklusnya panjang, kita juga harus berhadapan dengan stigma tadi,” katanya.
Ia pun mengajak kepada seluruh tenaga kesehatan lainnya untuk saling menguatkan. Setiap hari, ia pun selalu memotivasi stafnya agar tetap semangat dalam bekerja. Ia sangat mengerti bahwa saat-saat terberat di situasi hari ini adalah ketika harus meninggalkan keluarga di rumah.
“Itu paling berat. Kita harus meninggalkan keluarga sementara. Pas awal Maret itu kunjungan pasien ke puskesmas masih sangat tinggi. Sekarang setelah sistem rujukan dipermudah, kunjungan sudah mulai berkurang,” jelasnya.
Oleh karena itu, dukungan moril baik dari keluarga maupun sesama rekan kerja sangat penting. Ia selalu menekankan bahwa apa yang dilakukan saat ini adalah panggilan jiwa dan amanah yang harus dijalankan.
“Ini jadi amanah, bahwa profesi yang kita geluti ini saat ini memang sedang diuji, panggilan kita seperti apa. Tetap bersemangat dalam melayani masyarakat, Tuhan pasti melindungi apapun yang kita lakukan kalau kita ikhlas menjalankan panggilan ini,” ucapnya. (Red./Iwnaruna/Azay)
Discussion about this post